Mensagens do blog por Hasan Basri
Haramain — dua nama yang tak pernah lekang dari hati umat Islam. Makkah dan Madinah bukan sekadar kota di peta dunia; keduanya adalah simbol cinta, rindu, dan pengabdian. Setiap langkah di tanah Haramain membawa getar keimanan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ada yang datang dengan doa yang tak pernah henti, ada pula yang pulang dengan hati yang telah berubah selamanya.
Bayangkan, saat matahari mulai terbit di Madinah, sinarnya menyentuh kubah hijau Masjid Nabawi dengan lembut. Jamaah dari berbagai penjuru dunia bergegas menuju masjid, berharap bisa shalat di Raudhah — taman surga yang dijanjikan Rasulullah ﷺ. Di antara mereka, ada seorang pemuda Gen Z bernama Fikri. Usianya baru 23 tahun, tapi keinginannya untuk menapaki Haramain begitu kuat.
Fikri tumbuh di era digital, tapi hatinya terpaut pada sesuatu yang spiritual. Ia berkata, “Aku bisa scroll media sosial seharian, tapi nggak ada yang bisa ngalahin damainya sujud di depan Ka’bah.” Kata-katanya sederhana, tapi penuh makna. Perjalanannya ke Haramain bukan cuma soal perjalanan fisik, tapi juga perjalanan hati.
Di Makkah, Fikri menginjakkan kaki pertama kali di Masjidil Haram. Matanya langsung berkaca-kaca melihat Ka’bah. Ia terdiam, lalu air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia ingat semua doa yang ia tulis di catatan ponselnya. Doa untuk kedua orang tuanya, untuk masa depannya, dan untuk dunia yang semakin jauh dari ketenangan.
Ribuan orang thawaf di sekeliling Ka’bah, tapi masing-masing membawa cerita sendiri. Ada yang berdoa agar sembuh dari penyakit, ada yang memohon kelancaran rezeki, dan ada juga yang hanya ingin merasakan kedamaian yang sejati. Di situlah keajaiban Haramain terasa nyata — tempat di mana hati-hati yang jauh dari Allah kembali menemukan arah.
Sementara itu, di Madinah, Fikri menemukan ketenangan yang berbeda. Jika Makkah mengguncang hati dengan keagungan dan kekuatan spiritual, maka Madinah memeluk dengan kelembutan dan kasih. Di setiap sudut Masjid Nabawi, terasa kehangatan cinta Rasulullah ﷺ.
Fikri duduk di pelataran masjid, menatap langit sore Madinah yang berwarna keemasan. Ia menulis di jurnalnya: “Di Madinah, aku belajar bahwa cinta sejati kepada Rasulullah ﷺ bukan cuma dengan kata-kata, tapi dengan meneladani akhlaknya.”
Perjalanan Fikri di Haramain tidak berhenti di dua kota suci itu. Ia membawa pulang pelajaran yang mengubah cara pandangnya terhadap hidup. Ia mulai lebih menghargai waktu, lebih sabar, dan lebih lembut terhadap sesama. Semua itu berawal dari langkah kecil menuju Haramain.
Ia berkata, “Kalau kamu punya kesempatan datang ke Haramain, jangan tunda. Karena bukan kamu yang memanggil Haramain — tapi Haramain yang memanggilmu.” Kalimat itu viral di media sosial setelah ia unggah bersama foto Ka’bah di akun pribadinya. Banyak yang tersentuh dan termotivasi untuk menabung agar bisa menapaki jejak serupa.
Haramain bukan sekadar destinasi spiritual, tapi juga simbol perjalanan jiwa. Bagi banyak jamaah, ini bukan sekadar soal visa, tiket, atau hotel. Ini tentang menemukan kembali diri yang hilang, tentang merasakan ketenangan di tengah hiruk-pikuk dunia digital.
Fikri kini sering membagikan kisahnya di komunitas muslim muda. Ia mengajak teman-temannya untuk mulai merencanakan perjalanan ke Haramain, bukan hanya untuk berlibur rohani, tapi untuk memperbaiki diri. Katanya, “Kita hidup di zaman yang cepat banget berubah, tapi Haramain selalu bikin hati kita kembali tenang.”
Setiap sudut Haramain menyimpan makna. Makkah mengajarkan kekuatan dan keteguhan iman. Madinah mengajarkan kasih sayang dan ketulusan. Bersama, keduanya menjadi sumber inspirasi tak berujung bagi jutaan hati di seluruh dunia.
Tak heran jika banyak jamaah yang pulang dari sana dengan air mata dan senyum sekaligus. Karena di Haramain, setiap langkah adalah doa, setiap napas adalah zikir, dan setiap tatapan adalah cinta yang menghubungkan langit dan bumi.