Mensagens do blog por Hasan Basri
Pagi itu, suara takbir bergema dari masjid-masjid kecil di Jakarta. Jalanan mulai sepi karena sebagian besar orang sudah mudik. Namun di rumah sederhana milik keluarga Arifin, suasananya berbeda. Di ruang tamu, koper besar terbuka, berisi pakaian ihram putih bersih. Hari itu, mereka bukan bersiap untuk mudik — mereka bersiap berangkat umroh Syawal.
“Setelah Ramadhan yang penuh perjuangan, rasanya kami ingin menutupnya dengan perjalanan yang lebih bermakna,” ujar Pak Arifin sambil melipat kain ihramnya. Di sebelahnya, Bu Rani menatap daftar doa yang ia tulis semalam. “Aku ingin mendoakan keluarga kita, negeri kita, dan semoga Allah سبحانه وتعالى menerima segala amal kita,” ucapnya lembut.
Keindahan Umroh di Bulan Syawal
Setelah sebulan penuh berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى, bulan Syawal datang sebagai waktu penuh harapan. Ia bukan hanya bulan kemenangan, tapi juga bulan peningkatan (syala berarti naik atau meningkat). Karena itulah, melaksanakan umroh Syawal memiliki nilai spiritual yang istimewa — menjadi simbol tekad untuk mempertahankan semangat Ramadhan di luar bulan suci.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Umrah di bulan Ramadhan setara dengan haji bersamaku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan meski hadis itu menyebut Ramadhan, banyak ulama menekankan bahwa bulan Syawal juga membawa keberkahan tersendiri. Ini karena Syawal termasuk dalam asyhurul hajj, yaitu bulan-bulan haji yang mulia. Jadi, umroh di bulan ini terasa seperti menyambut datangnya musim haji dengan suasana khusyuk dan tenang.
“Suasananya tidak seramai Ramadhan, tapi justru itu yang membuat ibadah terasa lebih damai,” tutur Pak Arifin setelah tiba di Mekkah.
Lebaran di Indonesia: Ramai, Hangat, dan Penuh Tradisi
Sebelum berangkat, keluarga Arifin sempat merasakan Lebaran di tanah air — setidaknya sehari. Mereka salat Id di masjid dekat rumah, bermaaf-maafan dengan tetangga, dan mencicipi ketupat serta opor ayam yang sudah jadi tradisi tahunan.
Namun suasana haru tak bisa dihindari ketika sore harinya mereka harus berangkat ke bandara. Anak-anak dan kerabat mengantar hingga gerbang keberangkatan. “Lebaran kali ini terasa beda. Biasanya ramai di rumah, tapi sekarang lebih haru,” kata anak sulung mereka.
Pak Arifin tersenyum, “Kami tidak meninggalkan Lebaran, kami hanya melanjutkannya di Tanah Suci.”
Lebaran di Saudi: Sederhana, Tapi Sarat Makna
Begitu tiba di Mekkah, mereka merasakan perbedaan suasana yang mencolok. Tak ada petasan atau baju warna-warni seperti di Indonesia. Di Tanah Suci, Idul Fitri dirayakan dengan kesederhanaan dan ketenangan. Setelah salat Id, warga Saudi dan jamaah umroh Syawal saling berpelukan, mengucapkan doa, lalu banyak yang kembali ke Masjidil Haram untuk zikir dan doa.
“Tidak ada pesta besar, tapi suasananya sangat menenangkan,” kenang Bu Rani. “Saat takbir berkumandang di depan Ka’bah, rasanya seluruh dunia berhenti sejenak.”
Ia meneteskan air mata, teringat rumah dan anak-anak di Indonesia, tapi sekaligus bahagia karena bisa berlebaran di tempat paling suci di muka bumi. “Lebaran kali ini bukan soal makan bersama, tapi tentang bersyukur di hadapan Allah سبحانه وتعالى secara langsung.”
Makna Syawal: Bulan untuk Naik Level Iman
Syawal dikenal sebagai bulan peningkatan. Artinya, siapa pun yang berhasil menjaga semangat Ramadhan di bulan ini dianggap naik satu tingkat dalam iman. Oleh karena itu, umroh Syawal menjadi salah satu cara terbaik untuk menguatkan komitmen spiritual pasca-Ramadhan.
Pak Arifin berkata, “Kami merasa seperti melanjutkan ibadah Ramadhan, hanya saja tempatnya berpindah. Kalau di Indonesia kami berzikir di musholla, di sini kami berzikir di depan Ka’bah.”
Selama di Mekkah, keduanya menjalani setiap ibadah dengan penuh rasa syukur. Saat thawaf, mereka berdoa panjang; saat sa’i, mereka mengenang perjuangan Siti Hajar; dan ketika duduk di halaman Masjidil Haram, mereka hanya diam menatap Ka’bah, seolah tak ingin lepas dari suasana itu.
Perbandingan Suasana: Dua Dunia, Satu Rasa
Jika Lebaran di Indonesia adalah perayaan keluarga, maka Lebaran di Tanah Suci adalah perayaan jiwa. Dua suasana yang berbeda, tapi tujuannya sama — mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى.
Bu Rani menceritakan, “Di rumah, kami biasanya sibuk menjamu tamu. Tapi di sini, tamunya adalah diri sendiri — kami menatap hati kami, meminta maaf pada Allah, bukan hanya pada manusia.”
Mereka juga sempat bertemu dengan jamaah lain asal Indonesia di Masjidil Haram. Ada yang datang dari Medan, Surabaya, hingga Makassar. Semua bercerita tentang rasa rindu kampung halaman, tapi juga rasa syukur yang luar biasa karena bisa berada di tempat yang sama.
Umroh Syawal: Momentum Spiritual Tak Terlupakan
Setelah sepuluh hari di Tanah Suci, keluarga Arifin pulang dengan hati yang jauh lebih tenang. Tidak ada oleh-oleh mewah yang mereka bawa, tapi mereka membawa pulang sesuatu yang lebih berharga: ketenangan, kesabaran, dan semangat baru untuk menjaga iman.
“Kalau dulu Lebaran identik dengan silaturahmi keluarga, sekarang kami belajar bahwa silaturahmi dengan Allah سبحانه وتعالى juga penting,” kata Pak Arifin. “Umroh Syawal memberi kami makna baru tentang kemenangan — bukan hanya menahan lapar, tapi menundukkan hati.”
Kini, setiap kali bulan Syawal tiba, mereka tidak lagi hanya menyiapkan kue Lebaran, tapi juga menyiapkan hati — siapa tahu Allah سبحانه وتعالى memanggil mereka kembali ke Tanah Haram.
Bagi siapa pun yang ingin merasakan ketenangan dan keberkahan seperti itu, inilah saat terbaik untuk mulai merencanakan umroh syawal maret 2026. Karena perjalanan terbaik bukanlah yang hanya membawa tubuh ke Tanah Suci, tapi yang membawa hati pulang ke hadapan Allah سبحانه وتعالى dengan penuh rasa syukur dan cinta.