Mensagens do blog por Hasan Basri

Todo o mundo

Ada luka yang butuh ditinggalkan.
Tapi ada juga luka yang butuh ditemani dulu, sebelum akhirnya bisa sembuh.

Turki mengajariku hal itu.

Setelah perjalanan yang penuh kesedihan, aku tidak langsung pulih. Tidak ada momen ajaib yang membuatku tiba-tiba kuat. Healing tidak datang seperti tombol yang ditekan. Healing datang dalam perjalanan panjang yang perlahan, pelan, dan sama sekali tidak tergesa-gesa.

Hari keempat di Istanbul, aku bangun pagi tanpa rencana. Tidak ingin mengejar itinerari, tidak ingin mengikuti tur, tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin berjalan tanpa tujuan. Dan anehnya, itulah awal dari semua pemulihan itu dimulai.

Aku berjalan menyusuri Fatih dengan langkah pelan. Tidak ada kamera di tangan, tidak ada niat mengambil foto, tidak ada keinginan membuktikan apa pun. Aku hanya berjalan sambil mendengarkan diriku sendiri bernapas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menyadari sesuatu: aku masih hidup, meski dulu ku kira aku sudah berhenti merasakan.

Di sebuah toko buku tua, seorang bapak dengan rambut memutih menyapaku. Ia bertanya dari mana asalku, lalu memberi sebuah buku kecil kumpulan puisi Turki klasik. Ia tersenyum sambil berkata pelan, seperti seorang ayah yang menenangkan anaknya:
“Kita tidak bisa menghapus kesedihan. Kita hanya belajar memindahkannya ke tempat yang lebih tenang.”

Aku membawa buku itu dan duduk di taman Gulhane. Aku membaca, meski hanya mengerti sebagian. Tapi ada satu baris yang menembusku sangat dalam:
“Cinta tidak mati, ia hanya berubah bentuk agar kita bisa berjalan lagi.”

Aku menutup buku itu dan menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya air mataku jatuh bukan karena kehilangan… tapi karena aku merasa didengar oleh dunia, oleh sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku.

Hari itu aku tetap sendiri, tapi untuk pertama kalinya kesendirian terasa tidak menyakitkan.
Kesendirian terasa… aman.

Beberapa hari kemudian di Cappadocia, aku tidak mengejar balon udara lagi. Aku memilih duduk di kafe kecil, menatap langit sore berubah warna dengan tenang. Aku memegang teh panas, dan tubuhku terasa lebih ringan dari sebelumnya. Ada suara di dalam hati yang dulu tidak terdengar:
“Kamu tidak gagal. Kamu hanya pernah mencintai terlalu dalam.”

Saat itu aku tersenyum kecil. Bukan senyum kemenangan, bukan senyum membuktikan sesuatu kepada siapa pun, tapi senyum orang yang akhirnya memaafkan dirinya sendiri.

Tidak ada orang yang datang untuk mendampingi. Tidak ada kejutan romantis. Tidak ada cerita cinta baru. Tapi healing tidak selalu butuh pengganti. Healing hanya butuh ruang untuk bernapas lagi.

Malam terakhir sebelum kembali ke Istanbul, aku berjalan tanpa tujuan melewati pasar malam. Musik tradisional mengalun, orang-orang tertawa, lampu-lampu tergantung rendah, aroma daging panggang menyebar pelan. Aku berdiri di tengah keramaian itu, tapi kali ini aku tidak merasa sendirian.
Ada diri yang baru tumbuh dari dalam.
Diri yang tidak lagi menunggu seseorang untuk menyelamatkannya.

Ketika kembali ke tepi Bosphorus untuk terakhir kalinya, aku duduk di bangku yang sama. Tempat yang dulu terasa seperti luka. Bedanya, sekarang dadaku tidak lagi sesak. Aku menyentuh gelas teh panas dan berbisik dalam hati:

“Aku pulih bukan karena melupakanmu.
Aku pulih karena aku akhirnya memilih diriku.”

Mataku menatap kapal-kapal yang lewat, mendengar suara ombak yang pelan. Rasanya seperti dunia memelukku sangat lembut. Aku bukan lagi orang yang datang ke Turki untuk melarikan diri.
Aku adalah orang yang pergi dari Turki dengan versi baru dari dirinya.

Bukan versi paling kuat.
Tapi versi yang tak lagi patah.

Ketika pesawat tinggal landas meninggalkan Istanbul, aku tidak menatap keluar jendela dengan sedih seperti sebelumnya. Aku hanya memejamkan mata dan tersenyum diam-diam. Aku tahu, perjalanan ini tidak menghapus masa lalu. Tetapi ia menghapus cara masa lalu menyakitiku.

Dan bukankah itu esensi healing?
Bukan menghilangkan kenangan, tapi menghilangkan luka dari kenangan itu.

Keindahan Turki tidak menyembuhkan aku dalam sehari. Tapi ia mengembalikan satu hal yang sangat kuperlukan untuk menjalani hidup:

Harapan.

Aku tidak lagi datang ke dunia membawa hati yang memohon untuk dicintai. Aku pulang dengan hati yang cukup, yang tahu bahwa ia layak dicintai, bahkan jika belum ada siapa pun yang datang untuk memeluknya.

Dan mungkin suatu hari nanti aku akan datang lagi.
Bukan untuk menangis.
Bukan untuk merelakan.
Tapi untuk merayakan kehidupan karena aku berhasil melalui semuanya sampai ke sini.

Aku mungkin pernah patah.
Tapi aku tidak tinggal hancur.

Aku pulih.
Pelan-pelan.
Tapi sungguh-sungguh.