Mensagens do blog por Hasan Basri
Tidak ada perjalanan yang benar-benar sama, tetapi ada perjalanan yang mengubah seseorang tanpa ia sadari. Itulah yang terjadi ketika langkah kaki pertama kali menjejakkan diri di Bandara Istanbul tanah yang memadukan sejarah dan keajaiban dalam satu tarikan napas. Awalnya, perjalanan ini diniatkan sebagai ibadah menuju Tanah Suci, menjemput kerinduan untuk merasakan damainya Masjidil Haram dan keheningan Masjid Nabawi. Namun, ketika jadwal pulang memberi ruang transit beberapa hari di Turki, semua berubah. Ada sesuatu yang terasa memanggil, sesuatu yang tidak terencana tapi justru paling membekas.
Setelah menyelesaikan rangkaian ibadah penuh makna di Makkah dan Madinah, rombongan bersiap menuju Turki. Di pesawat, sebagian orang hanya membayangkan aktivitas wisata biasa belanja, foto, menikmati kuliner. Tapi siapa sangka, Turki menawarkan lebih dari itu. Ia bukan sekadar destinasi, tetapi pengalaman rasa.
Istanbul menyambut dengan caranya sendiri kokoh, megah, kuno sekaligus modern. Kota ini seperti buku raksasa yang setiap halamannya memiliki cerita yang tidak pernah selesai. Hagia Sophia menjadi pemberhentian pertama, bangunan yang berdiri gagah sejak ribuan tahun lalu. Dari masjid menjadi gereja, lalu kembali menjadi masjid, ia adalah saksi perjalanan panjang umat manusia. Saat kaki melangkah masuk, hati menggigil. Tidak ada suara, hanya gema takbir yang seolah mengisi setiap ruang. Siapa pun yang berdiri di sana akan menyadari bahwa kekuasaan dan peradaban berganti, tetapi kebesaran Allah tetap sama.
Perjalanan dilanjutkan ke Blue Mosque, dengan interior bernuansa biru yang membuat mata tak ingin berkedip. Di sini, rasa takjub bercampur dengan rasa syukur. Dari tanah suci menuju tanah sejarah, perjalanan ini seperti benang merah yang menyambungkan masa lalu dan masa depan spiritual seseorang. Ketika guide menjelaskan tentang arsitektur dan makna filosofis di balik bangunan, hati terhubung kembali dengan pengalaman ibadah yang baru saja dilalui. Seolah ada pesan yang berulang: setiap perjalanan bukan hanya untuk tubuh, tapi untuk jiwa.
Hari berikutnya membawa rombongan ke Bosphorus Strait selat yang memisahkan dua benua, Asia dan Eropa, namun menyatu dalam satu aliran air. Angin sore terasa dingin, tapi pemandangan membuat hati hangat. Kapal bergerak pelan menyusuri selat, memperlihatkan istana-istana tua, masjid megah, dan gedung bergaya modern berjejer tanpa benturan. Harmoni dalam keberagaman. Rasanya seperti melihat hidup sendiri masa lalu dan masa depan bisa berdampingan jika hati cukup lapang menerimanya.
Namun puncak emosi justru datang di Cappadocia. Subuh masih gelap ketika rombongan bangun untuk melihat sunrise dari udara. Balon udara perlahan naik, dan langit berubah dari ungu menjadi jingga. Pemandangan lembah dan bukit batu membuka dirinya seperti lukisan hidup. Di pemandangan seluas itu, setiap orang terdiam. Tidak ada yang sibuk berfoto dulu, tidak ada yang bercanda. Semua hanyut dalam keindahan yang terlalu besar untuk dipahami.
Saat itu, ada satu kalimat yang terlintas di benak banyak orang: betapa kecilnya manusia, betapa besar kuasa Allah.
Salah satu jamaah bercerita sambil menahan haru. Ia pernah menunda ibadah bertahun-tahun karena merasa terlalu lelah dengan hidup. Namun perjalanan ini, dari Masjidil Haram ke Masjid Nabawi lalu menuju Turki, seakan mengembalikan segala kesadaran. “Seandainya dulu aku tahu perjalanan ini bisa mengubah cara memandang hidup,” katanya, “aku akan lebih cepat memulai semuanya.”
Dan di situlah momen paling pas untuk menyisipkan cerita bahwa turki bikin aku menangis bukan karena kesedihan, tapi karena keindahan yang memperbaiki bagian hati yang diam-diam retak. Turki tidak hanya cantik untuk difoto, tetapi cantik untuk dirasakan. Setiap sudutnya seperti memeluk, menguatkan, dan memberi ruang untuk berdamai dengan diri sendiri maupun dengan hidup.
Setelah Cappadocia, perjalanan berlanjut ke Bursa untuk ziarah ke makam para khalifah Utsmani, lalu ke Uludag Mountain untuk merasakan salju pengalaman pertama bagi sebagian jamaah. Ada yang menangis, ada yang tertawa, ada yang terdiam sambil memandang langit. Tidak ada cara yang salah untuk menikmati momen. Yang jelas, semuanya sepakat: perjalanan ini terasa seperti hadiah tak terduga setelah tuntas beribadah.
Ketika rombongan kembali ke Istanbul menjelang kepulangan ke Indonesia, suasana bukan sekadar senang karena liburan, tetapi emosional karena perjalanan ini telah menjadi bab penting dalam hidup masing-masing. Ibadah telah selesai, hati sudah dibersihkan, dan perjalanan ini memberi ruang untuk menyerap makna.
Bandara Istanbul pagi itu terasa sunyi. Masing-masing berjalan pelan menuju gate penerbangan pulang. Ada harapan, ada syukur, ada ketenangan yang tidak dimiliki sebelumnya. Turki bukan akhir perjalanan hanya pengingat bahwa hidup ini indah jika dilewati dengan rasa syukur, bukan hanya rencana.
Dan mungkin itulah alasan orang sulit melupakan perjalanan ke Turki. Bukan hanya karena destinasi-destinasinya menakjubkan, tapi karena tempat ini memberikan efek yang tidak bisa dijelaskan perasaan pulang dengan hati yang lebih damai.